Banyuwangi – Memperingati Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember, Kabupaten Banyuwangi menggelar beraneka agenda. Salah satunya lewat Festival Kita Bisa yang menampilkan beragam karya dan kreasi dari anak-anak muda penyandang disabilitas. Juga diluncurkan platform data peserta didik berkebutuhan khusus.
Festival Kita Bisa digelar di SD Negeri Model Banyuwangi, Sabtu sore (2/12/2023) yang dimeriahkan oleh siswa-siswi penyandang disabilitas tingkat SD dan SMP se-Banyuwangi. Mereka adalah para peserta dan pemenang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) serta Olimpiade Olahraga Siswa Nasional untuk kategori disabilitas.
Dalam festival itu anak-anak disabilitas dari berbagai sekolah memamerkan hasil karya mereka di stan-stan yang berjajar di lokasi acara. Ada kain batik, anyaman dari limbah plastik, aneka kerupuk, snack, hingga robot pendeteksi sampah.
Ada juga yang memamerkan kemampuannya di bidang coding hingga membaca puisi. Salah satunya, M. Qiandra Valeri, penyandang cerebral palsy dari SDN 1 pakis. Pelajar kelas 1 SD itu merupakan salah satu pemenang lomba baca puisi pada rangkaian Festival Kita Bisa.
Bupati Ipuk Fiestiandani menjelaskan sejak 2013 Banyuwangi telah mewujudkan sekolah inklusi yang ramah bagi para penyandang disabilitas. Hingga hari ini, semua sekolah negeri dari tingkat PAUD sampai SMA/ sederajat telah berstatus inklusif.
“Tidak hanya dalam bidang pendidikan saja, kami juga terus mengupayakan memenuhi hak-hak disabilitas. Seperti halnya dalam pelayanan umum, terpenuhinya fasilitas disabilitas di tempat-tempat publik, hingga terbukanya peluang di dunia kerja. Bertahap terus kami perbaiki layanan dan fasilitas kami yang ramah bagi disabilitas,” terang Ipuk.
Dalam kesempatan itu, Bupati Ipuk juga meluncurkan inovasi Si-Denakwangi, akronim Aplikasi Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Kabupaten Banyuwangi.
Aplikasi ini digunakan untuk mendeteksi jenis ketunaan peserta didik berkebutuhan khusus. Berisikan berbagai fitur yang di dalamnya memuat berbagai kriteria skrining untuk ABK. Dari skring tersebut, akan keluar assessment terhadap ABK yang bersangkutan.
Laporan ini menjadi bahan bagi guru pendamping khusus untuk membuat program pembelajaran individual (PPI) sesuai dengan kondisi.
“Dengan demikian, layanan dan pembelajaran yang diterapkan para GPK betul-betul tepat sesuai kondisi anak didik berkebutuhan khusus-nya. Harapannya ini bisa memaksimalkan prestasi mereka,” kata Ipuk.
Kepala Dinas Pendidikan, Suratno, menambahkan di Banyuwangi saat ini terdapat 181 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, mulai dari tingkat paud, SD, SMP, hingga SMA/sederajat. Sekolah-sekolah ini didampingi oleh 11 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang bertindak sebagai konsultan. Adapun jumlah guru pendamping khusus (GPK) sebanyak 250 orang.
“Secara berkala para GPK ini kami berikan bimtek untuk meningkatkan kapasitasnya. Sehingga mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik dalam menjembatani kesulitan belajar ABK di sekolah inklusi,” kata Suratno.
Salah satu sekolah di Banyuwangi, yakni SMPN 3 Banyuwangi telah memenangi Top 45 Pelayanan Publik Terbaik Nasional atas inovasi Lebur Seketi (Layanan Inklusif Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Pendekatan Hati). Sebuah program layanan bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) untuk tetap bisa belajar di sekolah reguler dengan kurikulum yang telah disesuaikan.
Para pendidiknya juga melakukan jemput bola mendatangi rumah calon PDBK untuk melakukan registrasi. Bahkan setelah lulus, sekolah akan mendampingi dan mengantarkan mereka untuk mendaftar ke jenjang berikutnya.
“Ini menjadi role model bagi sekolah lain di Banyuwangi,” pungkas Suratno. (*)